Follow Us @soratemplates

Thursday, September 19, 2024

Inovasi Pertanian Dalam Negeri Menuju Indonesia Emas 2045

 

generasi emas 2045


Indonesia Emas 2045

Pada tahun 2045, tepatnya ketika negara ini berusia 100 tahun, Indonesia akan mendapatkan Bonus Demografi. Di tahun itu, jumlah penduduk Indonesia 70% berusia produktif. Jika kondisi ini tidak dimanfaatkan, maka bukannya akan memberi efek positif, tapi malah sebaliknya.

Melihat fenomena tersebut, maka munculah wacana Indonesia Emas 2045. Indonesia akan menjadi negara tangguh, mandiri, dan iklusif di tahun 2045. Dengan bonus demografi, diharapkan akan tumbuh Generasi Emas 2045, generasi muda yang berkualitas, berkompeten, dan berdaya saing tinggi.

Indonesia Emas 2045 memiliki visi menjadi negara nusantara yang berdaulat, maju dan berkelanjutan. Selain itu, Indonesia Emas 2045 memiliki empat pilar. Pertama, pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, pembangunan ekonomi berkelanjutan. Ketiga, pemerataan pembangunan. Keempat, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

 

Ketahanan Pangan Sebagai Salah Satu Pilar Indonesia Emas 2045

Ketahanan pangan erat hubungannya dengan kondisi makmur dan tangguh suatu negara. Ketahanan pangan yang baik bisa menjadi cerminan terjaminnya dan layaknya kehidupan penduduk di negara tersebut. Hal ini tentu saja menjadi factor penting untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Berbicara tentang ketahanan pangan, tentu saja erat kaitannya dengan sektor pertanian. Tidak bisa dipungkiri luas lahan pertanian kita semakin berkurang dari tahun ke tahun. Jumlah petani yang benar-benar memiliki lahan sendiri dengan jumlah yang pantas pun, masih kalah dengan jumlah petani gurem. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia sebanyak 27.799.280 petani. Sedangkan, jumlah petani gurem di Indonesia sebanyak 17.248.181 petani.

Berdasarkan data di atas, jumlah petani gurem hampir setengah lebih dari jumlah petani pengguna lahan. Padahal kalau kita perhatikan, keberadaan petani gurem ini masih kalah dengan para tengkulak. Hasil yang didapat tidak seberapa, karena memang lahan pertanian mereka kurang dari 0,5 hektar.

Para petani tersebut hanya cukup untuk menutupi kebutuhan makan sehari-hari saja, bahkan mungkin harus ditambal dengan mata pencahariannya lainnya. Terkadang bukan keuntungan yang didapat, malah mereka harus berhutang kepada tengkulak untuk membiayai sawah mereka.

Jadi, tidaklah heran ketika jumlah petani semakin berkurang, karena memang sangat tidak menjanjikan untuk dijadikan mata pencaharian. Apalagi bagi Generasi Milineal, Generasi Z, dan juga Generasi Alpha, menjadi petani bukanlah pilihan pekerjaan di masa depan.

Hal tersebut menjadi PR besar bagi negeri yang katanya Negara Agraris ini. Lahan pertanian pun semakin berkurang karena banyak alih fungsi lahan. Banyaknya pembangunan perumahan dimana-mana menjadikan luas lahan pertanian kian menyusut.

Saat ini, keberadaan petani kian terpinggirkan. Padahal harga beras dan bahan pangan lainnya semakin meningkat. Lalu, pertanyaannya siapa yang diuntungkan?

Ketika petani hanya bisa bertani sesuai tradisi tanpa adanya inovasi, maka tinggal menuggu tergerus zaman yang sudah serba digitalisasi. Alam sudah memberikan sinyal agar kita semakin peka dengan perubahan yang ada sekarang.

Harus ada solusi cerdas agar pertanian kita bisa kembali lagi Berjaya di negari agraris ini. Agar kita bisa kembali lagi swasembada pangan, dan tidak harus mengimpor beras dari negara lain. Bukankah negeri kita ini kaya akan sumber daya alam? Tetapi masihkah telinga kita mendengar ada tangisan kelaparan di negeri ini?

Sebuah kondisi ironi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Ketahanan pangan haruslah menjadi perhatian besar. Lalu, apa solusi yang bisa ditawarkan?

Pertama, kembalikan fungsi lahan pertanian. Harus ada peraturan yang tegas dan jelas tentang fungsi lahan. Undang-Undang harus dibuat dan ditaati tanpa pengecualian.

Kedua, berikan edukasi kepada para petani. Model pertanian seperti apa yang cocok untuk era sekarang. Tinggalkan cara-cara lama yang memang tidak efektif. Teknologi pertanian harus semakin disosialisasikan. Berusaha untuk terus berinovasi agar hasil yang dicapai bisa maksimal.

Ketiga, Sosialisasikan tentang konsumsi pangan lokal. Hal ini penting agar produksi pertanian bisa terdistribusikan dengan baik. Petani tidak dirugikan dengan kehadiran pangan impor yang katanya kualitasnya lebih baik.

Keempat, perubahan iklim saat ini pun harus menjadi perhatian yang serius. Tentu saja perubahan iklim sangat berpengaruh pada proses produksi pertanian itu sendiri. Oleh karena itu, hal ini membutuhkan kerjasama berbagai pihak untuk semakin sadar dengan adanya perubahan iklim. Pihak-pihak yang terkait harus terus mengedukasi masyarakat untuk mengurangi hal-hal yang bisa menjadi pemicu pemanasan global. Dan, sebagai masyarakat pun, kita harus memiliki kesadaran sendiri untuk perperilaku ramah lingkungan.

Sebenarnya cukup empat hal ini dilakukan, maka pertanian di Indonesia bisa benar-benar makmur. Peran serta semua pihak. Ya, sekali lagi, semua pihak. Baik itu pemerintah, petani, dan juga masyarakat saling berbimbing tangan memajukan pertanian di Indonesia.

Pemerintah membuat kebijakan dan juga pengawasan yang betul-betul sesuai dengan aspirasi masyarakat. Tidak untuk kepentingan pribadi dan juga golongan.

Petani juga memiliki kemauan untuk bekerja sama dan meng-upgrade diri agar bisa tetap bertahan ditengan gempuran perubahan zaman.

Masyarakat pun siap untuk ikut andil menjadi bagian memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanian di negeri ini. Jadilah konsumen dari hasil pangan negeri sendiri. Banggalah dengan apa yang dihasilkan dari tanah kelahiran kita.

Kalau semua sudah mau berbimbing tangan, maka Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan. Indonesia tidak akan menjadi negeri pengimpor beras. Ketahanan pangan benar-benar bisa dinikmati semua warga, sehingga melahirkan generasi yang sehat, makmur dan tangguh. Indonesia Emas 2045 pun akan terwujud.

No comments:

Post a Comment