6 September 2015
“Kok basah?” gumamku
ketika terbangun dini hari.
Tanpa banyak
berpikir yang aneh-aneh, aku pun langsung mengambil air wudlu dan mengganti
pakaian. Aku berusaha untuk tetap berpikir positif. Sambil menunggu adzan shubuh, aku pun melanjutkan
tilawah.
Hingga pagi hari,
aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku sampai harus berganti baju beberapa
kali. Akhirnya aku pun menceritakan kondisiku kepada suami.
“Mau periksa ke Bu
Bidan atau gimana enaknya?” tanya suami mencoba menenangkan.
“Kita tunggu sampe
nanti sore aja, kalau sore masih keluar cairan baru kita ke Bu Bida. Tapi,
jangan dulu cerita ke siapapun ya?”
Tapi, hingga sore
hari, cairan yang keluar malah tambah banyak. Kami berdua pun sepakat untuk
periksa setelah sholat maghrib. Namun, sayang Bu Bidan sedang tidak ada. Kami
hanya ditangani oleh asistennya.
“Teh, maaf saya nggak
berani memutuskan. Kita lihat sampai besok pagi aja ya, kalau masih tetap
keluar cairan, berarti itu air ketuban,” jelas asisten itu.
Deg... Rasanya
perasaan ini tak menentu. Ketakutan mulai menyapaku. Malam itu, aku tidak bisa
tidur. Pikiran dan perasaan berebut memikirkan hal yang tidak aku inginkan.
Hingga dini hari, aku masih saja tak tenang. Karena itulah, pagi-pagi sekali
kami langsung meminta untuk bertemu langsung dengan Bu Bidan.
“Neng, ini cairan
ketuban. Tapi belum ada pembukaan. Jadi, lebih baik Neng langsung periksa ke
SPOg aja ya. Ini Ibu kasih rujukan,” jelas Bu Bidan.
Ketenangan dan
sekaligus kesabaran kami kembali diuji. Kami harus menunggu hingga pukul 1
siang untuk periksa ke Dokter SPOg. Dan, antrian sudah memanjang ketika kami
datang ke Klinik Bersalin. Padahal Dokter baru mulai praktek pukul 4 sore.
Tapi, untunglah dengan adanya surat rujukan dari Bu Bidan, kami mendapat
antrian nomor 2. Tepat pukul 5 kurang seperempat, kami berdua masuk ke ruang
praktek.
“Air ketubannya
memang sudah habis. Tapi, tetap tenang
aja, nanti saya kasih obat penguat paru dan harus opaname semalam ya. Kita coba
pertahankan hingga usia kandungan 9 bulan,” jelas Dokter itu sambil tersenyum.
Aku benar-benar tak
kuasa menahan tangis. Aku takut terjadi apa-apa dengan janin dalam rahimku.
Meskipun suami mencoba terus menenangkanku. Tapi, tetap saja aku tidak bisa
menyembunyikan rasa kekhawatiranku.
Di ruang tindakan,
aku dipasangi alat untuk mendeteksi detak jantung bayi. Beberapa kali sempat
terhenti dan membuat perawat mengingatkanku untuk tetap tenang. Tapi, aku
benar-benar tidak bisa tenang apalagi mendengar obrolan dua orang perawat di
sampingku.
Setelah disuntik
penguat paru bayi, aku pun dipindah ke ruang inap. Awalnya aku masih bisa
ngobrol dan bercanda dengan suami dan juga kakak pertamaku yang menjenguk saat
itu. Tapi, tak lama kemudian, perutku terasa sakit luar biasa. Suamiku langsung
memanggil perawat.
Awalnya dua orang
perawat masuk dan memeriksaku. Tapi, tidak sampai 5 menit, ia memanggil beberapa
perawat yang lainnya. Ada sekitar 4 perawat yang langsung membopongku ke ruang
tindakan.
“Sudah pembukaan
sepuluh, panggil Dokter!” teriak perawat.
Jujur saat itu,
hatiku tenang, termasuk suami. Pikir kami saat itu, kalau sudah pembukaan
sepuluh berarti bayi akan segera lahir. Dan, memang betul hanya berselang 2 jam
kurang, suara tangis bayi terdengar di ruangan. Tepat pukul 21.55 pada Hari
Senin 7 September 2015, anak pertama lahir dengan selamat. Air mata kebahagiaan
mulai membasahi pipi kami berdua. Alhamdulillah...
Sesaat setelah dilahirkan, dan langsung ditangani Dokter Anak. |
Kami bersyukur atas
kelahiran putra pertama kami. Ada banyak keajaiban yang kami berdua alami. Anak pertama kami lahir ketika usia kandungan masih 8 bulan. Aku
mengalami pecah ketuban selama 2 hari sebelum akhirnya ia terlahir ke dunia.
Menurut Dokter dan
perawat yang memeriksaku, sehari sebelumnya ada pasien dengan kondisi yang
sama, dan keduanya tidak bisa terselamatkan. Aku pun awalnya diprediksi harus
melahirkan secara caesar dan bayi harus masuk inkubator. Tapi, alhamdulillah...
Aku bisa lahiran dengan normal, dan bayi pun terlahir dalam kondisi normal dan
sehat tanpa harus ada tindakan apapun. Saat ini, anak pertamaku sudah duduk di bangku TK.
Kami hanya bisa
bersyukur atas keajaiban yang Allah berikan. Allah sangat baik
kepada kami. Maka, nikmat mana lagi yang pantas kami dustakan?
No comments:
Post a Comment