Hanya Rindu
Intan Daswan
January 29, 2020
52 Comments
Sebelumnya saya
hanya ingin mengatakan satu hal kepada siapapun yang membaca tulisan ini.
Coretan ini bukan sekadar curhatan, tapi ini adalah terapi bagi saya. Jujur
saja, selama 4 bulan terakhir ini saya merasa labil. Bibir boleh saja
tersenyum, tapi dalam hati ini masih ada tangisan yang tak bisa hilang. Masih ada sesak dalam hati ketika mengingatnya lagi. Bukan karena saya tak menerima takdir, tapi rasa rindu yang belum sempat terobati.
4 Oktober 2019
Tanggal ini tak
akan pernah bisa saya lupakan. Seminggu sebelumnya saya mendapat kabar kalau
Mamah dan Kakak ketiga akan datang ke Jember. Siapa yang tak senang akan
bertemu dengan ibu sendiri setelah hampir satu tahun tidak jumpa?
Rasa sedih saya
agak sedikit terobati karena sebulan lalu tidak bisa pulang ketika mendengar
kabar Bapak meninggal. Ya, tepat Hari Raya Idul Adha, Bapak meninggalkan kami
untuk selamanya. Saya tidak bisa melihat Bapak untuk terakhir kalinya karena
suami dan kedua anak saya sedang sakit. Perjalanan Jember – Bandung bukanlah
jarak dekat. Membawa dua balita dalam kondisi sakit memang terlalu beresiko.
Saat itu, saya
sedih, kecewa, kesal karena tidak bisa pulang. Tapi, Mamah dan kakak-kakak saya
pun memberikan saran untuk tidak memaksakan pulang. Mamah mengatakan doakan
saja Bapak. Ah, rasanya ingin sekali berlari dan memeluk Bapak untuk terakhir
kalinya.
Sepeninggal
Bapak, Mamah memang terlihat berbeda. Mamah lebih memilih untuk tidur di ruang
TV daripada di kamar. Setiap kali menelpon Mamah, selalu semuanya tentang Bapak
yang diceritakan.
Melihat Mamah
yang masih terus memikirkan Almarhum Bapak, kakak saya yang ketiga pun
menawarkan untuk mengajak Mamah ke Jember. Mamah menyambutnya langsung. Mamah
begitu bersemangat untuk ke Jember.
Awalnya kakak
ingin memberikan kejutan dengan tidak memberikan kabar. Tapi, atas saran kakak
kedua saya, akhirnya saya pun dikabari seminggu sebelumnya. Setelah mendapat
kabar itu, saya menjadi jauh lebih bersemangat. Rasa rindu ingin bertemu dan
bercerita dengan mamah akan terobati.
Kamis, 3
Oktober 2019, Mamah dan kakak saya pun berangkat menggunakan Kereta Api sore
hari dari stasiun Kiaracondong, Bandung. Sesaat setelah naik, saya pun
melakukan video call dengan Mamah, terlihat raut wajah senang. Bahkan beberapa
kali Mamah mengatakan itu, “Mamah senang
mau ke Jember. Ini pertama kali, loh.” Itulah yang diucapkan Mamah
berulang-ulang.
Menurut cerita
kakak, di sepanjang perjalanan Mamah banyak cerita. Selain itu, kakak pun
mengajak Mamah untuk mencoba berbagai makanan yang ada di kereta. Bahkan, kakak
sempat ditegur karena jajan terus. Tapi, memang niat kakak ingin membuat Mamah
senang.
Singkat cerita,
pagi hari tepatnya pukul 7, kereta yang ditumpangi Mamah pun tiba di Stasiun
Gubeng Surabaya. Di Whatsapp Group keluarga, kakak selalu membagikan foto
Mamah. Dan, itu menjadi bahan obrolan kami di group.
Setelah sampai,
kakak pun mengajak Mamah sarapan. Mamah terlihat menikmati makanannya. Tidak
biasanya, Mamah menyantap nasi pecel pesanannya sampai habis. Mamah terlihat
sehat dan senang.
“Mamah ada kamar mandi bersih, kalau Mamah mau mandi,
sambil nunggu kereta yang ke Jember.”
“Nggak ah, Mamah pengen mandi di rumah Neng Intan aja.”
Tepat pukul 9
pagi, kereta menuju Jember diberangkatkan. Mamah terus bertanya berapa jam lagi
sampai di Jember. Mamah sepertinya sudah tidak sabar untuk tiba di Jember. Dan,
itu pun yang saya rasakan. Beberapa kali saya menanyakan posisi Mamah sudah ada
di mana.
Senyuman terakhir Mamah di Kereta menuju Jember |
3 menit sebelum
jadwal kereta berhenti di Stasiun Jember, saya mengirim WA menanyakan kabar
Mamah dan memberi tahu kalau suami saya yang akan menjemput. Saking senangnya,
sampai-sampai kata-kata saya di WA nggak nyambung, malah saya sempat diguyonin,
ternyata penulis juga bisa salah nulis ya.
Di rumah, saya
mempersiapkan makan siang. Tapi, saat sedang asyik menggoreng ikan, tiba-tiba
suami saya menelpon.
“Neng jangan panik,
Mamah pingsan dibawa ke klinik stasiun.”
Deg… Perasaan
saya langsung tak menentu. Saya tinggalkan dapur dan duduk di runag tengah. Saya
terus berdoa untuk kesembuhan Mamah. Tapi, entah kenapa ada sebersit pertanyaan
dalam hati kecil saya, “Apa saya masih bisa bertemu Mamah?”
Telpon berbunyi
lagi. Suami saya kembali menghubungi saya. Saya angkat telponnya, tapi tak ada
satu kata pun yang terdengar, hanya tangisan.
Saya berteriak
dan memaksa suami saya berbicara. Telepon ditutup. Namun, selang berapa menit,
kembali berbunyi, “Neng Mamah udah nggak ada.”
Rasanya hati
ini hancur. Semua rencana untuk memuliakan Mamah tak akan terwujud. Padahal
saya dan suami sudah punya niat ingin membahagaikan Mamah di sini. Saya ingin
mengajak kemana pun Mamah minta. Ya, selama 9 tahun merawat Bapak yang sakit
memang membuat Mamah tidak pernah kemana-mana.
Man proposes,
God disposes. Ya, pada akhirnya saya harus memahami ungkapan ini. Kita memang
hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang Maha Menentukan. Rencana hanya tinggal
rencana.
Keinginan Mamah
untuk mandi di rumah saya terpenuhi, tapi dimandikan oleh anak bungsunya ini. Keinginan
Mamah untuk ke Jember terpenuhi meski hanya baru menapakkan kaki di Stasiun.
Keinginan Mamah untuk naik kereta api terpenuhi, meski ini benar-benar yang
pertama dan terakhir.
Innalillah wa
inna ilaihi rooji’uun. Saya pun harus terus memahami maknanya. Ya, semua ini milik
Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua sayang Mamah, tapi Allah jauh
lebih sayang Mamah. Kita semua ingin memuliakan Mamah, tapi Allah jauh akan
memuliakan Mamah.
Bagi saya Mamah
adalah panutan. Sosok istri yan selalu taat patuh kepada suami. Selalu menjadi
sahabat, partner dan juga penenang bagi suami. Mamah juga sosok ibu yang luar
biasa. Mamah selalu ada untuk kami. Saya belajar hidup dan kehidupan dari Mamah.
Wanita hebat, sabar, setia, tak pernah mengeluh dan selalu berbagi itu telah
pergi.
Mah, Neng
kangen Mamah…
Mamah sama Kakak Azka. Jalan-jalan keliling Bandung 2 tahun yang lalu. |
Teman-teman,
kembali lagi, siapapun yang membaca tulisan ini, saya mohon doa untuk kedua
orang tua saya yang sudah tiada. Dan, bagi siapa saja yang paham dengan ilmu
psikologi, saya akan sangat membuka diri kalau teman-teman memberikan saran
agar saya bisa bangkit. Karena sejak kejadian itu, saya mengalami trauma yang
luar biasa.
Ya, saya
mengalami rasa kehilangan dan ketakutan yang luar biasa. Ketika suami dan anak
saya pulang telat dari masjid pun, badan saya tiba-tiba lemas dan langsung
nangis. Saya juga butuh waktu satu bulan untuk bisa berani melewati Klinik dan
Rumah Sakit tempat Almarhum Mamah dinyatakan sudah tidak ada.
Tulisan ini
sarana terapi saya. Terima kasih sudah membacanya.