Ibu, panggilan
terindah dari mulut kecil buah hatiku. Pertama kali mendengar anak pertamaku
memanggilku Ibu, membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia. Ya, meskipun
sebelumnya beberapa anak didikku memanggil dengan sebutan itu. Tapi, saat satu
kata itu terucap dari malaikat kecilku, ada bahagia yang tak bisa diungkap
hanya lewat kata.
Ibu. Mengapa
aku lebih suka dipanggil ‘Ibu’? Entah kenapa, saat dua garis merah terlihat jelas,
aku memiliki impian kelak jika buah cinta ini terlahir, aku ingin dipanggil
ibu. Alasannya kenapa? Tak ada alasannya, hanya saja hati ini memiliki ingin
seperti itu.
Tak sekadar
panggilan yang menjadi sebab bahagia. Tapi, menjalankan peran seorang ibu pun
jauh lebih membahagiakan. Meskipun aku sendiri tidak menafikan masih sering
keliru menafsir inginnya. Tidak jarang sulit rasanya menaruh emosi dan
menggantikannya dengan kuota sabar yang unlimited.
Life is a process. Bukan sebuah pembelaan diri. Tapi, inilah realita. Selama
3,5 tahun memerankan sosok ibu dalam episode kehidupan ini, aku semakin yakin
kalau menjadi ibu memang sebuah proses belajar. Kita boleh saja pernah belajar
ilmu parenting dengan para pakar,
tapi kita akan tahu ada saat dimana betapa tidak mudahnya menerapkan sederet
teori yang kita pelajari tersebut.
Namun, kalau
ditanya apa aku bahagia jadi seorang ibu? Sangat. Ya, aku sangat bahagia. Bahagia
yang tak terkira. Bahagia yang tak bisa diungkap dengan kata. Bahagia yang tak
cukup dilukis diatas kanvas. Bahagia yang hanya dipahami oleh hati dan dirasa
oleh perasaan. Bahagia yang tak akan bisa tergantikan dengan apapun.
Meskipun perlu
aku akui, terkadang ada tergelitik rasa kangen dengan segala aktifitas
menjemput asa. Namun, seringkali pikir ini tersadar, kalau asa tertinggi
seorang wanita adalah bisa menjaga amanah luar biasa dari Allah SWT. Status
karier tak akan bisa menggantikan senyuman tulus, pelukan hangat dan kecupan
sayang si kecil setiap saat.
Memang
terkadang ego menelisik memaksa masuk ke dalam pikir. Ia tak suka jika kita
tersadar akan kodrat yang seharusnya. Tapi, sejujurnya, aku bersyukur ada sosok
yang selalu mengingatkan akan fitrah seorang wanita. Membersamai buah hati
dengan penuh sentuhan dan cinta, jauh lebih penting dari apapun juga. Itulah
pesan yang selalu diingatkan imamku.
Close my ears! Yap, itu pula yang sering aku lakukan ketika pertanyaan,
“Kenapa nggak kerja?”, “Sayang dong ilmunya kalau nggak digunain.”
Stop! Don’t judge me by saying that! I
know what I do. Orang boleh berkata apa, tapi akulah peran utama dari kisah
hidupku.
Bagiku, saat
ini, menyandang predikat seorang ibu merupakan amanah sekaligus proses belajar
tanpa henti. Kedua buah cinta yang diititpkan Allah adalah guru terhebat
untukku. Merekalah guru kehidupan yang mengajarkan aku tentang kesabaran,
keteladanan, dan banyak hal mengenai makna kehidupan yang sebenarnya.
Seringkali aku
tersadarkan dengan segala sikap dan ucapnya. Pertanyaan demi pertanyaan yang
terlontar dari mulut kecilnya sering menyadarkanku untuk belajar lebih banyak
lagi. Membersamainya itu bukanlah hal yang mudah. Aku harus terus upgrade ilmu dan kedekatan dengan Allah agar
bisa menyeimbangkan dengan kesholehan dan kecerdasannya.
Ibu, satu kata,
sebuah panggilan, tapi berjuta makna dan pesan yang aku dapat. Bahkan untuk
menuliskan ini semua pun, aku masih memiliki ragu dan takut. Ragu karena memang
aku tak pantas berbagi tentang ini semua. Takut, apa yang aku tuliskan ini
hanyalah sebatas rangkain kata tak bernapas.
Namun, satu hal
yang membuat jemariku tergerak, terapi. Ya, aku sadar aku masih belum bisa
menjadi ibu yang baik. Tapi, dengan cara menuangkan segala apa yang aku rasa
lewat kata, bisa menjadi terapi bagi diri sendiri. Tulisan ini pun bisa menjadi
pengingat bagiku untuk terus mematut diri agar bisa menjadi ibu yang sholehah
dan pantas diteladani.
Kembali lagi,
menjadi ibu adalah sebuah proses belajar yang luar biasa bagiku. Jadi, segala
cara aku lakukan untuk terus memperbaiki diri, termasuk dengan menuliskan ini. Karena
aku ingin menorehkan kenangan indah dalam kisah hidup anak-anakku.
Menjadi ibu
adalah salah satu impian yang bisa terwujud. Karena itulah, rasanya aku tak
pantas mengingkari nikmat yang luar biasa ini. Semoga dengan panggilan dan
predikat yang melekat ini menjadi jalanku untuk bisa merasakan kenikmatan surga-Nya
kelak. Aamiin…
Menjadi seorang ibu memang anugerah luar biasa y mba, semoga kita bisa menjalani amanah ini dg sebaik2nya...
ReplyDeleteAamiin... Ya, Mbak. Kita sama-sama belajar menjadi ibu hebat bagi anak-anak :)
DeleteIbu... Aku jadi ingat beberapa orang yang juga suka tanya "Kok manggilnya Bunda? Kok nggak Mama?"
ReplyDeleteTapi, nggak ada yang tanya "kenapa manggilnya Ayah, bukan papa?"
Aku selalu bingung kalau ada yang tanya ke aku tentang apa alasan memanggil ibuku dengan panggilan "Bunda". Ibundaku juga nggak tahu kenapa beliau suka dipanggil Bunda.
Ah, jadi seorang ibu memang berjuta rasanya ya Kak.
Sama kayak Bundaku suka cerita-cerita masa mudanya. Bagaimana pertama kalinya Bunda dipanggil Bunda oleh anaknya.
Bahkan banyak sekali duka sukanya.
Hal inilah yang selalu bikin aku termehek-mehek dan pengen menikah, juga jadi ibu. Maaf Kak jadi baper.
Salam kenal ya Kak.
Aku kenal Kakak dari 1m1c.
Saya tunggu blog walking ke blog-ku ya Kak.
Terima kasih.
Wah, pasti seru juga cerita bundanya ya? Salam hormat ya buat bundanya :) Oya, salam kenal juga. Nanti saya BW balik ya...:)
DeleteAnakku panggil aku 'mama', Mbak... Dan karena panggilan itu keluar dari bibir si kecil, kedengarannya juga indah banget, he he.
ReplyDeleteKalau aku baru-baru ini resign dari kerjaan kantoran, Mbak. Pas resign juga banyak yang menyayangkan, tapi kita yang tahu sendiri pilihan yang paling baik buat diri sendiri dan keluarga.
Semoga kita selalu berusaha lebih baik jadi ibu bagi anak-anak kita ya, Mbak. Salam kenal.
Vita
akupunmenulis.wordpress.com