Masa kecil itu,
masa yang paling sulit dilupakan. Sesulit atau sesedih apapun masa kecil,
pastilah akan tetap terpatri dalam perjalanan hidup kita. Meskipun kita berusaha
untuk melupakannya, tapi alam bawah sadar akan tetap menyimpan memori yang
sudah tersimpan itu.
Begitu pun
saya. Terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang biasa-biasa saja. Saya bukan
anak kyai dan tidak ada darah priyayi. Saya juga bukan berasal dari keluarga konglomerat
dan tidak ada garis keturunan pejabat.
Saya hanyalah
seseorang yang terlahir dari ibu yang luar biasa. Beliau sosok wanita idola
saya. Darinya saya belajar tentang arti cinta, ketulusan dan pengorbanan.
Wanita terhebat yang pernah saya kenal. Bagi saya, beliau adalah guru kehidupan
yang telah mengajarkan anak-anaknya tentang makna hidup yang sebenarnya.
Saya juga
dibesarkan dalam bimbingan dan pendidikan dari seorang ayah yang tidak kalah
luar biasanya. Darinya saya belajar kedisiplinan, perjuangan hidup dan kerja
keras. Beliaulah yang pertama mengajarkan saya tentang ilmu agama dan ilmu
bahasa. Tidak hanya itu, beliau juga yang pertama kali memperkenalkan saya
dengan dunia literasi.
Sebagai anak
bungsu dari lima bersaudara, tentu saja menjadi hal yang sangat lumrah bagi
saya menjadi anak manja. Sebutan anak mamah melekat kuat, bahkan sampai
sekarang pun. Sering mendapat privilege sudah bukan hal yang aneh.
Apalagi saya
memang terlahir berbeda. Ya, dari sejak bayi sampai remaja, label anak
penyakitan melekat kuat. Karena sering sakit-sakitan itulah, saya pun
diperlakukan berbeda oleh kedua orang tua dan keempat kakak. Mereka mem-protect saya, bahkan mungkin boleh
dibilang berlebihan.
Masa kecil saya
memang tidak seindah yang lain. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Obat-obatan,
jarum suntik, dokter dan rumah sakit menjadi sahabat setia saya setiap saat. Terkadang
saya lelah dengan ritme hidup yang sudah bisa ditebak. Dalam satu bulan saya bisa
dua kali periksa ke dokter. Minum obat tidak boleh telat. Dan, satu hal lagi,
saya tidak boleh terlalu capek dan banyak aktivitas. How pitty I am!
Jujur, saat
itu, saya sering merasa iri dengan teman-teman sebaya. Melihat mereka bisa
tertawa riang bermain bebas setiap saat. Sedangkan saya, keluar rumah hanya
untuk sekolah, setelah itu aktivitas kebanyakan di rumah. Alasan satu, kedua
orang tua saya khawatir kalau sakit yang saya derita bisa kambuh.
Lelah dan bosan
dengan rutinitas yang terlihat sangat tidak menarik. Seringkali saya mengeluh
karena kondisi tubuh yang ringkih. Tapi, saya beruntung memiliki dua orang
hebat. Ya, kedua orang tua saya selalu memotivasi setiap hari. Mereka selalu
mengatakan kalau saya bisa lebih baik dari teman-teman.
Dengan caranya,
kedua orang tua menemani saya menjemput impian. Dan, itu terbukti, meskipun saya
sering izin karena sakit, tapi selalu mendapatkan peringkat 3 besar di sekolah.
Selain, saya juga sering ditunjuk untuk mewakili sekolah mengikuti lomba
mengarang dan membaca cepat.
Kondisi tubuh
saya memang lemah, tapi saya masih bisa meraih apa yang saya impikan. Mungkin
kalau dilihat secara kasat mata, masa kecil saya tidak semenarik yang lain.
Namun, setidaknya masa kecil saya sangat berarti dalam membentuk saya sehingga
bisa seperti sekarang. Kejadian demi kejadian yang saya alami ketika masih kecil,
menjadikan saya bisa lebih menghargai dan memaknai hidup dan kehidupan.
No comments:
Post a Comment