Inilah
kisah pertamaku. Ya, saat inilah aku berada dalam situasi ANDI LAU (Antara Dilema dan Galau). Kisah ini terjadi tepat ketika
aku duduk di kelas XI SMA.
Waktu
itu kebetulan kakakku yang keempat tidak bisa ngajar seperti biasa di tempat
les. Dia memintaku untuk menggantikannya sehari itu saja. Menurut kakakku
katanya dia tidak memaksa. Tapi, kalau menurutku sangat memaksa karena dia
bilangnya di depan Bapak.
Bapak
sangat setuju ketika kakak perempuanku itu menyuruhku untuk belajar mengajar.
Bapak langsung menasehatiku kalau aku harus belajar mengajar. Aku sudah
mengeluarkan jurus manja tingkat dewa kepada Mamah. Tapi, sia-sia saja. Semua
orang di rumah terus mengomporiku untuk mengajar.
Bahkan
kakakku rela memberikan semua uang bayaran les kalau hari itu ada yang bayar
(karena memang waktu itu awal bulan). Di satu sisi, siapa sih yang nggak
tergiur dengan uang. Secara anak SMA diiming-imingi uang yang lebih dari uang
ongkos yang biasanya dipegang.
Padahal
aku sudah mengatakan kepada semua orang di rumah, kalau aku tidak sedikit pun
bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Karena pikirku, jadi guru itu sangat
tidak menyenangkan. Coba deh perhatikan, kalau kita ketemu guru baik, pasti
bakalan dikerjain. Kalau gurunya nggak baik, pasti diomongin. Nggak enak kan?
Udah gitu mana ceritanya guru gajinya gede? Itulah yang dulu ada dalam benakku.
Pokoknya dalam kamus kehidupanku tidak pernah terbersit untuk menjadi seorang
guru.
Meskipun
bapakku adalah seorang guru dan keempat kakakku juga guru, tapi ketika aku ditanya
apa aku mau jadi guru juga? Pastilah jawabannya TIDAK. Begitu pun keempat
kakakku, mereka tidak yakin kalau aku jadi guru. “Mana ada guru yang manja,”
ujar kakakku.
Wajar
sih mereka bilang kayak gitu. Karena memang aku ini anak bungsu dengan level manja
paling tinggi. Sampai kelas X SMA, aku masih dijemput kakakku kalau pulang
sekolah. Lucu ya? Sama sekali nggak, bahkan memalukan.
Selain
itu, aku tuh anaknya pemalu banget plus penakut beuud J. Aku paling nggak bisa kalau disuruh
berdiri dan menerangkan di depan kelas. Apalagi kalau harus berhadapan dengan
guru yang super jutek. Wah, pokoknnya jangan harap kalau aku tuh bisa
berkomunikasi dengan baik.
Tidak
cukup sampai disitu. Aku tuh kalau ngomong, pelan banget. Terus aku paling
tidak pandai bergaul. Temanku bisa dihitung dengan jari. Padahal aku terbilang
anak paling pintar (bukan narsis lho). Aku memang selalu memperoleh ranking 3
besar sejak SD sampai SMA. Aku juga selalu menjuarai lomba menulis sejak SD.
Tapi, kalau disuruh gaul dengan teman-teman, aku bisa diam seribu kata deh.
Karena
setumpuk hal negatif yang bersarang di jiwaku itulah yang membuat aku tidak
ingin menjadi guru. Aku lebih memilih untuk menjadi seorang sekretaris. Karena
pikirku menjadi sekretaris itu hanya berhadapan dengan komputer dan tidak harus
berhadapan dengan banyak orang. Dan yang
terpenting alasan yang paling membuatku ingin menjadi sekretaris adalah gaji.
Pastilah gaji sekretaris itu lebih besar daripada seoarng guru, pikirku dulu.
(Matre banget ya? Tapi itu dulu. Sekarang? Ehmm...sudah kembali ke jalan yang
benar J.)
Dilema.
Ya dilema tingkat tinggi ketika aku dihadapkan pada situasi harus memilih.
Jujur, hari itu ialah hari yang tidak pernah aku lupakan. Badanku boleh jadi
ada di kelas, tapi pikirku entah berada dimana.
Beribu
pertanyaan muncul dibenakku. Apa nanti anak-anak akan senang belajar denganku?
Apa aku bisa berbicara dengan keras? Apa aku bisa menerangkan dengan
menyenangkan? Apa nanti ketika aku bicara bahasa Inggris, mereka bakalan
mengerti?
Hufft...Aduh
rasanya aku ingin sekali melewati hari ini. Aku sempat berpikir untuk berbohong
saja. Aku mau pulang terlambat saja, nanti aku bilang kalau ada kerja kelompok.
Jadi aku tidak akan mengajar. Tapi, tidak mudah bagiku. Kalau sampai ketahuan
sama Bapak, bisa-bisa aku kena KULTUM (Kuliah Tiga Puluh Menit) setiap hari
seumur hidup.
Memang
semua sudah diatur oleh Allah SWT, hari itu ternyata aku pulang lebih awal.
Biasanya aku senang kalau pulang lebih awal karena tidak akan terjebak macet.
Tapi, kali ini aku mengharapkan akan ada macet panjang, sehingga aku bisa
pulang terlambat.
Dan
tahukah, keajaiban apa lagi yang terjadi denganku? Ternyata perjalanan dari
sekolah ke rumahku yang biasanya ditempuh dalam waktu 2 jam, hari itu hanya 45
menit. Amazing. Aku hanya bisa
tersenyum dengan perasaan tidak menentu.
Langkahku
seperti tidak menapak di tanah. Jantungku tidak berdegup dengan sangat kencang.
Andai stetoskop dipasang di dadaku, pastinya telinga yang mendengarkannya akan
sakit (lebay.comJ).
Masih
ada waktu satu jam sebelum pertempuran hidup dan matiku. “Neng pasti bisa.” Itulah kata-kata Mamah yang membuatku bisa
sedikit tersenyum yakin. Tapi, tetap saja, aku tidak bisa menyembunyikan
tingkat stressku.
13.15...
Hufft...Itu artinya lima belas menit lagi aku akan berhadapan dengan beberapa
anak SMP. Meskipun aku senang sekali dengan pelajaran Bahasa Inggris, tapi
kalau harus mengajarkannya lagi, nggak tahu deh harus seperti apa.
Dzikir
dan berdoa, itulah yang aku lakukan sambil berjalan menuju tempat les. Berusaha
untuk tersenyum kepada murid-muridku (eh, murid kakakku J).
Mulai dengan memberi contoh membacakan teks. Memberikan soal.
15.00...
Wow, nggak kerasa, ternyata waktunya sudah habis. Ternyata aku bisa ya melalui
hari ini. Tapi, apa mereka senang belajar denganku? Ah, bodo amat. Yang penting
aku sudah melakukan tugas yang membuat berat badanku turun beberapa kilogram
hehe...
Diluar
dugaan, ternyata ada tiga orang yang bayar uang les waktu itu. Lumayan, dapat ‘gaji’ pertama. Karena sudah perjanjian,
berarti semua uangnya buatku. Meskipun aku dapat rezeki tak terkira, tapi aku
tetap tidak tergoda untuk memilih guru sebagai profesiku nanti ketika lulus
sekolah.
“Tuh,
kan nggak sampai pingsan,” goda kakakku.
Aku
tidak mau mengomentarinya. Karena aku pikir aku sih tidak apa-apa. Tapi,
bagaimana dengan pendapat murid-muridnya. Takutnya mereka jadi benci Bahasa
Inggris, gara-gara gurunya kayak aku.
“Neng, mau ngajar lagi?” tanya kakakku
keesokan harinya.
“Nggak!”
jawabku dengan pasti.
“Anak-anak
pada nanyain. Katanya pengen belajar sama Neng.”
What!!!
Apa aku nggak salah dengar? Mereka suka dengan cara ngajarku. Ah, pasti kakakku
lagi bercanda. Mana ada guru kayak aku? Nggak. Pokoknya aku nggak boleh tergoda
dengan rayuan maut kakakku.
Karena
menurutku, masih banyak profesi yang menjanjikan. Masa semua orang di rumahku
jadi guru? Apa nggak sekalian aja bikin PGRI Cabang Keluarga Daswan. Pokoknya Say No to Be A Teacher, dulu J.
No comments:
Post a Comment