“Kapan
nikah?”
“Kamu
sih terlalu workaholic?”
“Mau
nyari yang kaya gimana?”
“Ingat
usia lho.... Kamu kan wanita.”
Risih banget deh kalau udah dengar pertanyaan dan
pernyataan di atas. Sejak lulus kuliah, pertanyaan dan sekaligus juga ungkapan
itulah yang paling menyebalkan yang aku dengar. Kadang aku berpikir, apa
orang-orang itu nggak punya stok pertanyaan lain, atau memang mereka nggak
punya hati sampai nggak peka meraba perasaan orang yang ditanya.
Pokoknya bete banget kalau udah ngumpul acara keluarga,
ketemu teman sekolah atau ngobrol sama ibu-ibu. Ya, secara kesibukanku
berhubungan dengan banyak orang. Memiliki aktifitas mengajar di sebuah sekolah
formal, memiliki tempat les, mengajar privat dan juga mengisi seminar,
membuatku bertemu banyak orang setiap hari. Bisa bayangin kan, gimana
rempongnya kalau ibu-ibu lagi nanya, pokoknya ilmu 5W1H sudah dikuasai banget
deh hehe...
Perlu aku akui, saat berkumpul dengan keluarga besar, aku sangat terbebani dengan pertanyaan ‘Kapan nikah?’ setiap hari. Tak jarang,
orang yang sama menanyakan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Memang mereka
bertanya sambil bercanda sih. Tapi sebercanda-bercandanya, kalau untuk urusan
yang satu ini, terkadang menjadi lebih sensitif untuk ditanyakan, apalagi bagi
perempuan.
Ya, awalnya, aku merasa sangat stress ketika ada yang bertanya, ‘Kapan nikah?’. Tapi,
seiring berjalannya waktu, aku pun menjadi lebih kebal dengan pertanyaan
tersebut. Malah aku memiliki cara untuk menjaga mood tetap happy meskipun
dicecar dengan pertanyaan yang sama.
Ketika mereka bertanya,
‘Kapan nikah?’, aku akan menjawabnya dengan senyuman saja. Kalau kata anak
sekarang, disenyumin aja. Meskipun, tak jarang beberapa orang yang kepo terus menggali agar aku bisa curhat
masalah jodoh. Tapi, aku memang menjaga untuk tidak mengeluhkan masalah jodoh
ini kepada siapapun selain kepada yang Maha Tahu segalanya. Melangitkan doa
setiap saat adalah salah satu caraku untuk minta disegerakan.
Memang tidak mudah untuk keep smile ditengah pertanyaan ‘Kapan
nikah?’ yang terus-menerus. Aku harus terus meyakinkan diriku kalau hari
bahagia itu pasti akan segera menyapaku. Tapi, aku bersyukur memiliki aktifitas
yang lumayan padat, bahkan weekend pun
ada kegiatan full sampai malam. Dengan
semua kegiatan tersebut, aku merasa lebih menikmati masa penantianku.
Tapi, kembali lagi, terkadang
ada beberapa orang yang ‘sangat perhatian’ denganku. Melihat akumasih
sendiri, ada saja cara mereka untuk mengenalkan dengan laki-laki pilihan
mereka. Mulai dari keluarga dekat hingga teman bahkan tetangganya dikenalkan
denganku. Ya, kalau aku pribadi sih melihat dari sisi positif, mungkin mereka
ingin segera melihat aku memiliki pendamping.
Mereka sangat bersemangat
menjadi mak comblang, meskipun terkadang aku tidak sadar sedang dicomblangi
oleh mereka. Tapi, aku patut berterima kasih dengan segala usaha mereka untuk menjodohkanku
dengan laki-laki pilihan mereka. Menurutku apa yang mereka lakukan lebih
manusiawi daripada terus bertanya ‘Kapan nikah?’ tanpa memberikan solusi.
Dan, atas izin Allah, akhirnya aku dipertemukan dengan suamiku saat
ini. Proses perkenalan yang terbilang singkat dan tanpa bersua apalagi jalan berdua. 10 Januari 2015, adalah hari dimana janji suci melangit untuk melangkah
bersama, menua dalam cinta dan kasih sayang. Aku pun bersyukur bisa terlepas dari
pertanyaan ‘Kapan nikah?’. Oya, aku juga harus lebih bersyukur lagi, karena aku
bisa melewati pertanyaan ‘Kapan hamil?’, karena satu bulan setelah menikah, aku
langsung diamanahi janin dalam rahimku.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteItu pertanyaan sudah masuk, "kalimat lamarangan" hehee... jangan dikeluarka
ReplyDelete