Sumber: www.financialtribune.com |
Membangun sebuah kota
sejatinya ialah membangun sebuah peradaban. Memang tidaklah mudah untuk mengatur
banyak kepala dengan beragam karakter dan juga latar belakang. Tak jarang niat
baik tidak bisa diterima hanya karena sebuah kebiasaan yang sudah terpatri.
Perubahan ke arah yang lebih maju terkadang dipahami sebagai ketidaknyamanan
yang tidak boleh terjadi.
Kalau boleh kita
mengambil benang merah, semuanya ada pada satu kata, mental. Ya, ketika
orang-orang sudah memiliki mental pemenang, maka perubahan positif yang terjadi
akan ditanggai dengan semangat positif. Tapi, ketika mentalnya ialah mental
pecundang, maka sebuah perubahan akan membuatnya merasa tidak nyaman dan
terusik.
Begitu pun yang terjadi
di beberapa kota di Indonesia. Bukan lagi sebuah rahasia ketika pemimpinnya
sudah sangat luar biasa, tapi kota itu seakan jalan di tempat. Dan, kalau kita
perhatikan masalahnya ialah ada pada para staf atau anak buahnya sendiri.
Mereka merasa sudah enak karena berada di zona nyaman. Ketika sang pemimpin
mengeluarkan sebuah kebijakan atau peraturan baru untuk merubah daerahnya agar
lebih maju, mereka enggan untuk mengikuti pola kerja pemimpinnya.
Lucu memang kalau kita
perhatikan. Tidak jarang banyak orang yang berkoar-koar ingin negeri ini maju,
tapi melakukan perubahan dalam lingkup yang lebih kecil saja, ogah-ogahan. Tidak
sedikit kepala daerah hanya sibuk memperkaya diri sendiri, bahkan terjerat
kasus yang tidak seharusnya. Perubahan yang digaung-gaungkan hanyalah sebuah
angan-angan yang sulit diraih.
Tapi, tentu saja kita
tidak harus berkecil hati. Diantara kasus-kasus daerah yang bermasalah, masih
ada beberapa kepala daerah yang cerdas dalam memimpin. Mereka tak pernah lelah
dalam memikirkan cara terbaik untuk membangun daerahnya. Ketika cara
konvensional tidak bisa merubah secara signifikan, maka harus ada cara cerdas
untuk mengatasinya.
Berhadapan dengan orang
memang tidak semudah ketika berhadapan dengan benda. Karena alasan itulah,
ketika seorang kepala daerah memiliki keinginan untuk dapat mengatur daerahnya
dengan baik, maka ia harus masuk ke berbagai karakter dan juga kebiasaan yang
sudah terbentuk pada kepemimpinan sebelumnya.
Sistem. Ya, kuncinya ada
di situ. Ketika kita membuat sebuah sistem yang saling berintegrasi dengan
memaksimalkan perkembangan teknologi informasi, maka orang-orang pun mau tidak
akan mengikuti sistem itu dengan sendirinya. Dan, itulah kunci dari smart city.
Di era digital sekarang
ini, orang-orang sudah mencari sesuatu yang lebih praktis, begitu pun dalam hal
pelayanan publik. Kita semua harus menyadari kalau saat ini, hampir semua orang
sudah gadget minded. Tidak hanya itu para generasi millenial yang jumlahnya luar
biasa banyak harus menjadi perhatian lebih. Jangan sampai warga akan berpikiran
apatis dengan cara kerja para punggawa pemerintahan.
Kita bisa mengambil
contoh Kota Bandung. Dengan kecerdasan wali kotanya, kota ini bisa merubah
paradigma masyarakat kepada pegawai pemerintahan. Warga semakin mudah untuk
berkomunikasi dengan pemimpin. Dan, begitu pun kepala daerah bisa dengan mudah
mengontrol kinerja bawahannya, serta perkembangan yang terjadi di masyarakat dengan
memanfaatkan sistem IT yang saling berintegrasi.
Intinya, semua kota bisa
menjadi smart city, asalkan ada
kemauan keras dari kepala daerahnya untuk memimpin dengan cerdas. Semua hal
harus sudah bisa diakses dengan cara online. Teknologi informasi benar-benar
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dengan cara seperti itu, Smart City Indonesia bukan
lagi hanya impian belaka. Kota yang cerdas dengan penduduk yang cerdas, dan
akhirnya akan tercipta peradaban yang cerdas pula. Smart City, Smart People, and Smart Civilization.
No comments:
Post a Comment