Sebuah filsafat hidup
orang Sunda yang mengandung makna begitu dalam. Silih asah, yang berarti saling
menajamkan pikiran dan saling mengingatkan. Budaya ini sekarang sudah semakin
hilang tergerus zaman. Tidak banyak orang yang mau berbagi ilmu dan saling
mengingatkan. Sebagian orang hanya memikirkan bagaimana dirinya menjadi cerdas,
tanpa mau mencerdaskan orang lain. Kalaupun mereka mau berbagi ilmu, mereka
selalu mengatakan “there’s no free lunch”. Semuanya harus dihargai dengan
materi.
Silih asih, artinya ialah
saling mengasihi dan mencintai. Kita mungkin berpikir kalau rasa cinta itu
masih ada di sekitar kita. Ya, masih ada. Namun rasa itu sudah kian memudar.
Sikap tidak acuh kepada sesama menjadikan kita pribadi yang individualistik. Coba
kita perhatikan, di zaman sekarang sudah sering kita dengar anak membunuh
orangtuanya, orangtua menganiaya anaknya, perkelahian, bentrok, tawuran dan
perselisihan marak terjadi. Rasa kasih sayang dan cinta damai menjadi hal yang
mahal dan sulit didapatkan.
Silih asuh, maksudnya
saling membimbing. Orang yang sudah tua, baik itu usia ataupun ilmunya, mau
membimbing yang muda, dan yang muda juga mau dibimbing yang tua. Orang yang
sudah mengerti dan paham bersedia menjelaskan kepada yang belum tahu, dan tentu
saja yang belum tahu juga tidak sungkan untuk bertanya kepada yang sudah paham.
Saling melengkapi dan saling bersinergi.
Ketiga filosofi kehidupan
orang Sunda ini sebenarnya bila diterapkan dalam kehidupan modern masih sangat relevan.
Ketika seluruh masyarakat mau saling asah, saling asuh, dan saling asih, maka
akan tercipta kehidupan yang aman dan tenteram. Tidak akan lagi saling hina,
ejek, sikut satu sama lain.
Sebenarnya semua budaya
bangsa ini mengajarkan keluhuran budi pekerti. Jika kita kembali menelaah
setiap budaya yang ada, meskipun beragam, tapi intinya bermuara pada titik yang
sama, ketentraman. Jadi sudah sepantasnya kita kembali kepada budaya luhur
bangsa ini, agar kita tetap berada dalam jalur yang seharusnya.
No comments:
Post a Comment