Merasa
tidak ada campur tangan orang lain dalam meraih kesuksesan. Berusaha untuk
melupakan asal mula dari mana ia berasal. Melangkah dengan wajah congkak seakan
dirinya bisa berubah karena usahanya sendiri seratus persen. Tidak pernah
menengok ke belakang. Jangankan memiliki niat merangkul orang-orang untuk ikut
merasakan kesuksesan bersama dirinya, mengakui mereka sebagai bagian kisah
hidupnya saja, tidak mau.
Lali ka purwadaksina, peribahasa Bahasa Sunda ini, bermakna lupa akan tempat asal. Mungkin kalau boleh menyamakan dengan
peribahasa Bahasa Indonesia seperti, kacang lupa pada kulitnya. Seseorang yang tidak
pernah tahu berterima kasih. Ia tidak sadar kalau suatu akibat pasti ada
penyebabnya.
Keegoannya
menyebabkan ia malu mengakui asal-usul dirinya. Masa lalu baginya aib. Dalam
kamus kehidupannya, ia tidak hidup di masa lampau. Memang tidak ada salahnya
kita berprinsip kalau kita hidup di masa sekarang, bukan masa lalu. Tapi,
bukankah masa lalu itu pembentuk masa sekarang? Masa sekarang adalah gabungan
kepingan puzzle masa lalu.
Katakanlah
kita sukses sekarang, apakah kesuksesan itu datang secara tiba-tiba dari
langit? Tentu hidup ini bukan magic, meski
tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Pencipta untuk melakukan itu semua.
Namun, kita juga jangan pernah lupa, kalau dalam kehidupan ini berlaku hukum sebab
akibat. Ada banyak penyebab untuk kesuksesan kita. Kita mungkin tidak pernah
tahu, kalau orangtua, keluarga, tetangga atau orang yang baru bertemu dengan
kita, menuturkan doa yang tak pernah terucap dan terdengar untuk kita. Dan
tidak menutup kemungkinan doa merekalah yang menjadikan kita sukses.
Setiap
hal itu ada tempat asalnya. Ingatlah, sejauh-jauhnya burung terbang, ia akan
kembali ke sarangnya. Kita mungkin akan tersu melangkah, bahkan berlari jauh
menjemput masa depan. Tapi, yakinlah suatu saat, kita akan merasa butuh untuk
kembali ke tempat kita berasal. Jiwa dan hati kita akan terpanggil untuk menyapa
kembali setiap lembaran kisah masa lalu. Ada satu titik kerinduan yang tidak
pernah bisa digantikan oleh indahnya masa lalu.
Lali ka purwadaksina,
bisa berarti kita melupakan keluarga. Inilah yang paling menyedihkan. Bagaimana
tidak, kita yang lahir dan tumbuh di tempat itu, dengan langkah tanpa dosa,
melupakannya begitu saja.
Fenomena
lali ka purwadaksina, sepertinya sudah
sangat sering kita lihat di masyarakat. Mulai dari para pejabat, entertainer,
sampai mungkin tetangga dekat kita. Entah karena pengaruh zaman atau memang manusia
terlalu sombong dengan segala kenikmatan yang diberikan oleh Yang Maha Memberi.
Tidak
sedikit, para pejabat yang melupakan keluarganya ketika tampuk kekuasaan sudah menyelimuti
dirinya. Doa, dukungan dan pengorbanan keluarga dibalas dengan pengkhianatan cinta.
Mereka masih bisa tersenyum dan berkata sok bijak dengan berbagai retorika tentang
kemajuan negara. Padahal, jangankan mengurus negara, mengurus keluarga saja
tidak bisa. Pasangan dan anak-anak menjadi korban.
Tidak
jauh dengan para pejabat, sosok sebagian entertainer pun demikan. Ketika masih
belum terkenal, sikapnya masih ramah. Tapi, setelah menjadi terkenal, mereka
abaikan sapaan. Lupakah mereka, kalau mereka pun sama-sama manusia? Apakah mereka
juga tidak sadar, kalau yang menggemari mereka juga manusia?
Hidup
ini bagaikan sebuah roda, kadang di atas dan kadang juga di bawah. Saat ini,
ketika kesuksesan sedang menyapa kita, syukuri. Apa bentuk dari syukur itu? Terus
semangat memperbaiki kualitas diri agar kesuksesan itu terus bersama kita. Dan jangan
pernah melupakan dari mana kita berasal. Janganlah kita tinggalkan orang-orang
yang pernah menjadi bagian dari langkah kita untuk menjemput kesuksesan. Ingatlah,
ketika kita melupakan sesuatu, ada saatnya kita pun akan merasakan sakit
hatinya dilupakan.
"Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati - Bahasa Daerah Harus Diminati"
"Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati - Bahasa Daerah Harus Diminati"
Semoga saya tidak demikian, kacang lupa pada kulitnya...
ReplyDeleteAamiin :)
ReplyDelete