An Nisaa, An Nuur dan Ar Ruum
ruangmaknaqu
July 10, 2014
0 Comments
Kejadian
ini aku alami 3 tahun yang lalu. Bagiku ini bisa dibilang aib. Namun, di sisi
lain, aku jadikan ini sebagai titik awal untuk berubah. Rasa malu telah
membuatku banyak belajar.
Waktu
itu, salah seorang tetangga yang juga teman baik Ayah, memintaku dan kakak
untuk mengaji di acara syukuran pernikahan. Sebenarnya bagiku tidaklah terlalu
sulit, karena hanya membacakan artinya saja.
Meskipun
sudah terbiasa di depan banyak orang, entah kenapa malam itu aku merasa agak kurang
tenang. Dan aku melihat kakak pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun,
aku tidak mau mempermasalahkan ini. Aku berusaha untuk terus berpikiran
positif.
Dan
ternyata, segala ketidak tenangan ini pun menyebabkan semuanya berantakan. Dimulai
dari posisi kami yang berjauhan. Biasanya orang yang menjadi saritilawah akan
duduk atau berdiri di samping orang yang membaca Al Quran. Tapi, ini berbeda.
Aku harus duduk agak jauh dari kakakku.
Masalahpun
datang ketika kakakku mulai membaca al quran. Ada yang aneh dengan yang ia baca.
Dari arti yang sudah ia ketik, seharusnya yang pertama kali dibaca itu surat An-Nuur,
lalu Ar-Ruum. Tapi, ketika aku perhatikan, kenapa Kakakku membaca Ar-Ruum lebih
dulu. Aku mencoba untuk mencocokkan arti sebisaku. Untunglah itu surat yang
sangat familiar di telingaku, jadi aku bisa mengetahui artinya.
Setelah
selesai membaca surat Ar-Ruum, aku pikir Kakak akan membaca surat An-Nuur. Tapi
ternyata tidak sama sekali. Surat yang ia baca tidak sesuai dengan arti yang
ada dalam kertas yang aku pegang.
Meskipun
aku tahu itu surat An Nisaa, tapi aku tidak tahu artinya. Sedangkan aku tidak
membawa Al Quran. Posisi duduk yang jauh dengan Kakak juga membuat aku semakin
bimbang. Muncul seribu pertanyaan, apa aku tetap membaca arti dari surat An-Nuur
saja.
Ingin
rasanya ini hanya sekedar mimpi buruk. Tapi, akhirnya aku putuskan untuk
membaca semua arti yang ada dalam kertas itu. Aku pun membalik posisi artinya.
Karena aku yakin yang pertama dibaca itu Ar-Ruum bukan An-Nuur. Dengan percaya
diri plus percaya malu, aku pun langsung membaca artinya tersebut.
Setelah
selesai, kami berdua kembali ke tempat duduk semula. Aku langsung memastikan
kalau yang dibaca tadi tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Kakakku pun
tersenyum mengiyakan.
Aku
langsung mengajak Kakak untuk pulang. Perasaan malu membuatku semakin tidak
nyaman. Aku pun mengajak Kakak untuk pamit pulang. Rasanya aku ingin menutup
wajah ini. Dengan setengah berlari aku meninggalkan tempat itu.
Sesampainya
di rumah, aku ceritakan kepada Ibu semua keteledoranku. Ibu mencoba
menenangkanku. Tapi, tetap saja, rasa bersalah ini masih menghantui. Aku langsung
mengurung diri di kamar. Aku takut akan kena marah Ayah.
Tapi
ternyata, keesokan harinya, aku mendapat kabar yang sedikit membuatku tertawa
dan penuh tanda tanya. Ternyata, ada salah seorang yang tadi malam hadir,
meminta kami untuk mengisi di acara pengajian keluarganya. Aku sama sekali tidak
percaya mendengarnya.
Tapi
sejak kejadian itu, aku bertekad untuk mengenal Al Quran lebih dekat. Tidak
hanya membaca tulisan Arabnya saja, tapi aku mencoba memahami artinya. Beruntung
sekali karena kakakku memberikan sebuah Syamil Quran yang besar. Aku berharap tidak
akan ada An-Nisaa, An-Nuur dan Ar-Ruum Part 2.