Setia
itu...
Jika
banyak orang mencari arti kata setia. Aku sudah menemukan arti kata itu. Bukan,
maksudku bukan arti tapi makna. Ya, ibuku, yang lebih senang kupanggil mamah,
sudah mengajarkan bagaimana mengeja setiap makna kata ‘setia’ itu. Mamah
mungkin tidak pernah merasa, tapi aku selalu belajar banyak darinya tentang apa
itu setia.
Menentukan
pilihan menikah dengan ayah dan menjalani hidup bersama kurang lebih 37 tahun,
tentunya bukan waktu yang sebentar. Senang dan susah dijalani bersama dalam
satu jalur kehidupan berumah tangga. Melangkah bersama untuk menggapai tujuan
yang sama. Mungkin kadang harus terjatuh, tapi dirinya mampu untuk bangkit
mengulurkan tangan untuk orang-orang yang ada di sampingnya.
Seperti
halnya larutan penyegar Cap Kaki Tiga, kesetiaan Mamah sudah sangat teruji.
Tidak hanya sekedar slogan, namun sudah sangat terasa oleh setiap insan yang
mengenalnya. Karena memang baginya, kesetiaan itu bukan hanya sekedar berurusan
dengan kata namun juga rasa.
Mamah
sudah mengajarkanku banyak hal tentang apa itu setia. Bukan mengajarkan lewat
ucap yang mungkin akan membuatku bosan. Tapi, ia ajarkan lewat perilaku yang
selalu membuatku kagum sekaligus malu. Kagum, ya aku kagum dengan segala hal
yang ia lakukan. Mamah ialah guru kehidupan yang mengajariku tanpa pernah aku
merasa digurui. Mamah bagai mata air yang terus memberikan manfaat bagi setiap
orang. Mamah juga bagai telaga tak bertepi yang selalu membuatku ingin selalu
di dekatnya.
Namun,
selain itu, aku juga malu, karena aku belum bisa membalas semua kebaikannya. Sedikit
saja, aku masih belum bisa membuatnya kagum dengan diriku. Terlalu sulit untuk
menyamai kesetiaannya.
Aku
mungkin tidak akan tahu dan mengingat semua perjuangan dan pengorbanan Mamah
untuk orang-orang yang dicintai. Tapi, aku sering memerhatikan bagaimana Mamah mengurusi
suami dan kami anak-anaknya. Bagaimana ketika Mamah merawat Bapak yang sedang
sakit hingga sekarang. Kesabaran dan ketulusan terlihat dari bagaimana Mamah
begitu telaten mengurusi Bapak sekaligus kelima anaknya. Kelelahannya ia sembunyikan
di balik senyum dan semangat hidup.
Aku
tidak tahu bagaimana dulu Mamah dan Bapak bertemu. Aku juga tidak pernah tahu
seberapa besar rasa cinta keduanya di awal bertemu. Namun, saat ini, ketika
usia telah semakin senja dan pernikahan pun bukan berdasar lagi atas dasar
cinta, kesetiaan itu semakin begitu jelas terlihat. Dalam sorot mata yang semakin
redup, aku menemukan makna cinta yang sesungguhnya.
Ya,
aku belajar banyak tentang makna setia dari sosok yang telah kupinjami rahimnya
itu. Tepatnya ketika keberlimpahan berubah menjadi kekurangan. Wanita tegar itu
tak pernah mengeluh dengan segala keadaan yang ada.
Cintanya
sudah teruji. Ia tidak hanya bisa mencintai ketika semuanya ada, namun ketika
semuanya tiada, ia masih tetap untuk tetap tersenyum berada di samping
orang-orang yang ia cintai.
Kesetian
Mamah memang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Senyum dan doa tulus selalu
terukir indah di bibirnya. Dorongan untuk selalu memberikan yang terbaik, tidak
pernah hilang dari kamus kehidupannya.
Baginya
mencintai itu bukanlah menerima, tapi mencintai itu memberi. Baginya tak peduli
dirinya menderita, asalkan orang-orang di sekelilingnya bahagia. Setia memang
tidak selamanya bisa terukur, tapi bisa dirasakan. Setia memang tidak mudah
untuk dilakukan, namun juga tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Setia itu
seperti mentari, selalu ingin menyinari tanpa pernah letih. Setia itu seperti larutan
penyegar Cap Kaki Tiga, terus mengabdi dan berarti untuk negeri bukan hanya
untuk pribadi.
No comments:
Post a Comment