Judul : Ayah
Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan ke-1: Mei 2013
Tebal : 324 halaman
Siapa
yang tak kenal Tafsir Al-Azhar,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan masih karya
fenomenal yang menginspirasi? Ya, siapa lagi kalau bukan Buya Hamka, seorang
pejuang, mubaligh, sastrawan, politisi dan tentunya saja seorang Ayah yang
inspiratif.
Sebuah
memoar Buya Hamka yang ditulis langsung oleh Irfan Hamka, putra kelima dari
Prof. Dr. Buya Hamka. Rangkaian cerita yang begitu memukau. Banyak hal yang
disajikan yang selama ini tidak pernah diketahui publik.
Sosok
Buya Hamka diceritakan dari mulai perannya sebagai ayah yang sangat mencintai
keluarganya. Beliau mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai keislaman yang
kental. Keteladanan adalah cara beliau mengajarkan sesuatu.
Jabatannya
sebagai pegawai di Departemen Agama tidak membuatnya tinggi hati. Kasih sayang
terhadap sesama selalu menghiasi setiap perilakunya. Penulis menuturkan Buya
Hamka hampir tidak pernah marah. Jiwa pemaafnya begitu luas kepada siapapun,
termasuk orang-orang yang telah menyakitinya. Hal itu sangat terlihat ketika Ir.
Soekarno wafat, beliau mau mengabulkan permintaan terakhirnya untuk
menyolatkan. Padahal, Buya Hamka pernah dijebloskan ke dalam penjara pada masa
pemerintakan Soekarno. Buya dituduh melanggar Undang-Undang Subversif Pempres
No. 11. Pada saat itu seluruh karya-karya beliau pun dilarang terbit dan
beredar.
Tidak
hanya dengan Soekarno, Moh. Yamin dan Pramoedya Ananta Toer pun pernah
membencinya. Moh. Yamin pernah berselisih soal Dasar Negara. Buya Hamka tidak
setuju jika Dasar Negara ialah Pancasila bukan Islam. Moh. Yamin, tokoh PNI, marah dan membenci Buya Hamka. Namun,
menjelang ajalnya, Moh. Yamin meminta Buya datang dan mendampinginya.
Sedangkan
Pramoedya Ananta Toer menuduh Buya Hamka telah mencuri karangan Alvonso Care. Pramoedya
tidak pernah berhenti menhujar setiap karya Buya. Namun, suatu hari datanglah
seorang pemuda dan pemudi. Mereka meminta kepada Buya untuk diajarkan mengaji. Ternyata
pemuda tadi akan menikahi putri dari Promoedya. Dan ia menyuruh calon mantunya
itu untuk belajar agama kepada Buya Hamka.
Kisah
demi kisah dituturkan dengan sangat runut dan jelas. Penulis yang mengalami
langsung kebersamaan dengan Buya, tentunya dengan mudah menceritakan kembali
apa yang ia alami dan rasakan.
Membaca
buku ini, layaknya mempelajari sejarah namun dikemas dengan sangat menarik. Ada
banyak ilmu dan pengetahuan baru setelah membacanya, terutama pesan keteladanan
dari seorang Buya Hamka.
No comments:
Post a Comment