“Cinta adalah sebuah kata
bercahaya, ditulis oleh tangan cahaya, pada halaman cahaya.” (Kahlil Gibran)
Cinta,
satu kata yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Tak akan pernah cukup waktu
untuk membahas tentang cinta. Cinta itu bisa seluas samudera, setinggi langit,
sedalam lautan. Namun, cinta juga bisa sesempit telapak tangan, serendah tanah,
dan sedangkal kolam. Semuanya tergantung dari sisi mana kita melihat dan
memaknainya.
Semua
orang sudah tahu, jika cinta yang paling luhur adalah cinta kepada Allah SWT. Sebagai
makhluk sudah sepantasnya kita menempatkan cinta kepada yang Maha Pencipta ini
di urutan terawal dari yang pertama. Setelah itu, barulah kita menempatkan
cinta kepada kedua orangtua. Lalu, barulah yang lainnya.
Tapi,
mari kita lihat apa yang terjadi sekarang. Banyak orang yang sudah mendewakan
cinta terhadap sesama makhluk. Kita ambil contoh, bagi yang belum menikah, mereka
menganggap calonnya adalah seseorang yang terbaik bagi dirinya. Mereka akan
berbuat apapun untuk bisa mendapatkannya. Bahkan ada kata ‘memaksa’ dalam
setiap doa yang mereka panjatkan. Apa mereka bisa menjamin, kalau dia itu
memang yang terbaik bagi mereka?
Memang
masa penantian itu bagaikan dua sisi mata uang. Untuk sebagian orang, masa
penantian bukanlah masa yang menyenangkan. Setiap detik, menit, jam, hari
bagaikan bom waktu baginya, semuanya terlihat horor. Setiap bertemu orang,
pastilah yang ditanyakan adalah masalah kapan menikah. Beban, jika kita melihat
semua itu sebagai masalah.
Tapi,
untuk sebagian orang, masa penantian ialah masa yang paling menyenangkan.
Kenapa? Ya, ketika seseorang sedang dalam masa penantian, ia akan lebih dekat dengan
Allah SWT. Ia akan mengisi dengan hal-hal yang positif. Dalam benaknya, ia akan
berpikir bagaimana untuk memantaskan diri sebelum melangkah ke gerbang
pernikahan.
Orang
yang selalu melihat sisi positif dalam setiap hal akan berpikir mungkin Allah
SWT senang dengan doa-doanya di sepertiga malam. Bukankah Allah SWT itu Maha
Pencemburu? Mungkin Allah SWT senang melihat kita mengadu meneteskan air mata
memohon rahmatNya. Dalam kesendirian dan ketenangan ia mencurahkan segala isi
hati dan keinginannya. Hanya ada dirinya dan Sang Pencipta. Sebuah penghambaan
dengan penuh rasa cinta kepada yang Maha Mencintai.
Jadi,
sebenarnya semua hal itu tergantung dari sisi mana kita melihat. Bukan masalah
cepat atau lambat. Tapi, yang terpenting siap atau tidak siap. Siap tidak harus
dilihat dari sisi materi, tapi yang terpenting adalah kesiapan mental untuk
menjalani sunnah Rasul. Ingatlah, tidak ada cinta yang salah, yang ada hanyalah
kita terlalu egois memaknai cinta itu sendiri.
“Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi
membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi
menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan
semangat.” (Hamka)
Nice post mbak, inspiring
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkenan membaca coretan ini :)
ReplyDelete